Senin, 12 Juni 2017

CANDI AGUNG AMUNTAI

A.    Sejarah Candi Agung
Candi Agung adalah sebuah situs candi Hindu berukuran kecil yang terdapat di Desa Sungai Malang, kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Candi ini diperkirakan peninggalan Kerajaan Negara Dipa yang keberadaannya sejaman dengan Kerajaan Majapahit.
Candi Agung Amuntai merupakan peninggalan Kerajaan Negaradipa Khuripan yang dibangun oleh Empu Jatmika abad ke XIV Masehi. Dari kerajaan ini akhirnya melahirkan Kerajaan Daha di Negara dan Kerajaan Banjarmasin. Menurut cerita, Kerajaan Hindu Negaradipa berdiri tahun 1438 di persimpangan tiga aliran sungai. Tabalong, Balangan, dan Negara. Cikal bakal Kerajaan Banjar itu diperintah oleh Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dengan kepala pemerintahan Patih Lambung Mangkurat. Negaradipa kemudian berkembang menjadi Kota Amuntai. Candi Agung diperkirakan telah berusia 740 tahun. Bahan material Candi Agung ini didominasi oleh batu dan kayu. Kondisinya masih sangat kokoh. Di candi ini juga ditemukan beberapa benda peninggalan sejarah yang usianya kira-kira sekitar 200 tahun SM. Batu yang digunakan untuk mendirikan Candi ini pun masih terdapat disana. Batunya sekilas mirip sekali dengan batu bata merah. Namun bila disentuh terdapat perbedaannya,  lebih berat dan lebih kuat dari bata merah biasa.
Sebuah hikayat Banjar yang diwariskan secara tutur Lisan ( tutur candi ) yang sampai saat ini masih dipercayai oleh sebagian masyarakat banjar. Orang-orang yang sudah berpikiran modern meaanggap itu hanya sebuah dongeng dan bagi masyarakat awam kejadian yang diluar akal manusia seperti kesurupan dan lain-lain biasa dikaitkan dengan hikayat banjar ini. Tapi berdasarkan prasasti yang satu-satunya ditemukan di Banjarmasin kemudian mahasiswa Sejarah menggali dan menelusuri wilayah-wilayah yang sesuai dengan hikayat banjar maka ditemukanlah candi Agung ( Amuntai ) dan Candi Laras ( Margasari rantau).
Diawali dengan sebuah pelayaran yang dilakukan oleh Mpu Jatmika dengan Siprabayaksa, dan ia merupakan seorang saudagar dari negara Keling yang sebelum pergi diwasiati oleh orang tuanya bahwa ia harus bersinggah di suatu wilayah yang berhawa panas dan akhirnya ia menyinggahi Amuntai karna dirasa sesuai dengan wasiat tadi. Karna Mpu Jatmika menganggap dirinya hanya seorang pedagang bukan kesatria maka ia membangun sebuah tempat untuk tinggal yang sekarang dinamakan “ Candi Agung”. Dan untuk melambangkan dirinya sebagai raja maka ia membuat sebuah patung replika dirinya yang pembuatnya langsung didatangkan dari Cina. Di ketahui Mpu Jatmika mempunyai dua orang Anak yaitu Mpu Mandastana dan Lembu Amangkurat ( Lambung Mangkurat ), dan kemudian Lambung Mangkurat dijadikan Patih pada saat itu. pada suatu saat Lambung Mangkurat berpikir bahwa tidak lengkap kalau kerajaan Dipa tidak mempunyai seorang raja. Karena itu ia bertapa di daerah Ulu Banyu ( Nagara) selama 40 hari 40 malam dan pada malam terkhir pertapaannya sebuah petunjuk datang melalui sebuah suara yang mengatakan “ ia harus menyediakan 40 jenis makanan dan 40 jenis kue beserta iringan dayang-dayang” yang berpakaian serba kuning melambangkan kemewahan pada kerajaan Dipa pada saat itu, setelah itu Lambung Mangkurat kembali ke istana untuk menyediakan semuanya.
Setelah semua sesaji dan dayang-dayang sudah disiapkan di tempat ia bertapa dan ritual dilasanakan tdak lama kemudian muncul buih yang memunculkan seorang putri yang akhirnya dijadikan raja perempuan di kerajaan Dipa yan diberi nama Putri Junjung Buih. Mpu Mandastana yang merupakan saudara Lambung Mangkurat mempunyai dua orang anak yaitu Bambang Patmaraga dan Bambang Sukmaraga. Mereka ternyata tertarik dengan putri Junjung Buih yang terkenal cantik Luar biasa yang keanggunannya tidak dapat ditandingi oleh siapapun. Karna merasa kedua putra Mpu Mandastana ini tidak sesuai untuk sang putri maka Lambung Mangkurat membunuh kedunya di sebuah danau sekitar kerajaan sehingga sekarang disebut “ lubuk Badangsanak atau danau berdarah” yang bisa kita lihat sampai sekarang di Candi Agung Amuntai.
Sebuah Wangsit yang mengatakan bahwa jodoh putri Junjung Buih berada di seberang lautan yaitu di kerajaan Majapahit. Maka diutuslah seorang pengawal ke Majapahit namun sesampainya disana Maha Raja Patih Majapahit mengatakan ia memiliki anak tapi tidak sempurna yang tidak mempunyai tangan dan kaki, orang menyebutnya raja Bulat Bulaling. Walaupun seperti itu seorang utusan tadi tetap meminta untuk putra Maha Raja Patih tetap di bawa karna ingin melaksanakan wangsit yang didapat. Sesampainya di Muara Banjar, Putri Junjung Buih mendapat kabar bahwa calon suaminya hampir tiba di tanah Banjar. Tapi sang putri ingin mempunyai suami yang sakti dan gagah perkasa agar tidak kalah dengan kesaktiannya. Maka putri Junjung Buih mengutus Naga di Langit untuk menghalau air agar kapal mandek di tengah lautan. Para pengawal pun bingung apa yang harus dilakukan samapi akhirnya mereka bertanya kepada Pangeran Bulat Bulaling dan kemudian ia mengatakan bahwa lemparkan saja dirinya ke air. Pengawal pun menurutinya, setelah lama di air lalu muncul seorang Pangeran yang gagah perkasa yang disebut “ Pangeran Suryanata “. Akhirnya Putri Junjung Buih mengakui kesaktian sang Pangeran dan bersedia untuk dijadikan istri. 

B.     Sarana dan Prasaran Candi Agung
Candi Agung merupakan salah satu obyek wisata sejarah yang berada di Amuntai, ibukota Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Sejarahnya, Candi Agung dibangun Mpu Jatmika pada abad 14 Masehi. Candi itu termasuk dalam kerajaan Negara Dipa Khuripan (sezaman dengan Majapahit). Dari kerajaan ini akhirnya melahirkan Kerajaan Daha di Negara dan Kerajaan Banjarmasin. Menurut cerita, Kerajaan Hindu Negaradipa berdiri tahun 1438 di persimpangan tiga aliran sungai. Tabalong, Balangan, dan Negara. Cikal bakal Kerajaan Banjar itu diperintah oleh Pangeran Suryanata dan Putri Junjung Buih dengan kepala pemerintahan Patih Lambung Mangkurat. Negaradipa kemudian berkembang menjadi Kota Amuntai. Candi Agung diperkirakan telah berusia 740 tahun. Candi Agung adalah sebuah situs candi Hindu berukuran kecil yang terdapat di kawasan Sungai Malang, kecamatan Amuntai Tengah, Kota Amuntai, Kalimantan Selatan. Candi ini diperkirakan peninggalan Kerajaan Negara Dipa yang keberadaannya sezaman dengan Kerajaan Majapahit.
Lokasi candi ini tidak jauh dari pusat kota Amuntai di kawasan Sungai Malang. Jadi, mudah bagi pengunjung untuk menuju ke sana. Ramainya pengunjung biasanya setiap akhir pekan. Dari kota Amuntai menuju tempat wisata Candi Agung Amuntai dapat ditempuh dengan waktu kurang lebih sekitar 15 menit. Akses jalan menuju objek wisata tersebut terbilang mudah. Memasuki lokasi obyek wisata, areal parkir kendaraan bermotor cukup luas dan dilengkapi dengan petugas keamanan. Loket masuk, pengunjung membayar karcis masuk seharga Rp 4000 per orang.
Ketika memasuki kawasan Candi Agung, disana banyak terdapat warung-warung makanan untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan. Disana para wisatawan dapat dengan mudah membeli makanan dan minuman dan souvenir seperti berupa gelang. Disana juga terdapat jembatan untuk pengunjung mengambil foto-foto. Disana juga terdapat tempat duduk untuk pengunjung beristirahat setelah mengelilingi kawasan candi. Terdapat 1 wc disana, tetapi tidak digunakan oleh pengunjung. Area objek wisata ini cukup luas, diperkirakan 1 hektare. Sampai di area dalam, kita dihadapkan beberapa titik kunjungan, antara lain museum, telaga darah, pemandian puteri, pertapaan, dan Candi Agung. Museum berbentuk Rumah Banjar yang berada dibagian depan. Dalam museum tersimpan sejumlah peninggalan Candi Agung. Telaga Darah bentuknya seperti sumur. Di bagian pemandian putri yang kini berbentuk sumur, juga ada pertapaan di depan situs candi. Sementara Candi Agung bentuknya tidak seperti bangunan candi, melainkan mirip pondasi bangunan yang di bagian tengahnya ada semacam kolam kecil.
       Suasana di kawasan Candi Agung ini cukup sejuk dan tenang, disana terdapat pepohonan yang rindang. Berkunjung ke Candi Agung, wisatawan akan merasakan suasana mistis disekitarnya. Lingkungan di kawasan Candi Agung cukup bersih, sehingga memberikan rasa nyaman bagi pera pengunjung. Sebelum pulang, para wisatawan dapat membeli oleh-oleh souvenir sebagai buah tangan untuk kerabat.
                                                                                                                           

C.    Pengelolaan Candi Agung
Pengelolaan candi Agung yang baik patut mencontoh pengelolaan candi yang baik diwilayah lain seperti Candi Ceto yang terletak di Karanganyar. Realitas tata kelola yang berlangsung di kawasan candi Ceto setidaknya menegaskan kembali teori fungsionalisme-strukturalisme yang menempatkan komponen wisata kawasan candi sebagai sebuah sistem. Keberlangsungan aktivitas wisata di kawasan candi memerlukan desain sistem yang terstruktur dan bergerak sesuai fungsi. Realitas menunjukkan bahwa masing-masing komponen dalam sistem pengelolaan kawasan candi Ceto belum berjalan secara sistematis. 
Hingga kini, masing-masing Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) menjalankan fungsi dan tanggungjawab tanpa berinteraksi satu dengan lain. Hal ini menimbulkan dampak secara langsung dan tidak langsung pada pengelolaan yang kurang berkualitas sebagaimana mestinya. Idealnya, tata kelola di kawasan candi berlangsung secara harmonis, bersinergi untuk mencapai tujuan melalui kesepakatan yang dicapai melalui konsensus bersama. Ritzer menegaskan akan pentingnya memperhatikan nilai dan norma. Teori fungsionalisme menekankan pada harmoni, konsistensi, dan keseimbangan dalam masyarakat. Masyarakat yang dimaksud Ritzer dalam konteks kawasan candi Ceto adalah elemen kedinasan, swasta, serta penduduk lokal. Masing-masing elemen ini merupakan subsistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian (subsistem) yang interdependent yang berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem secara keseluruhan. 
Pertanyaannya adalah bagaimana menciptakan sistem tata kelola yang ideal bagi kawasan candi Ceto? Baik instansi/dinas pemerintahan, sektor swasta dan jasa pariwisata, serta penduduk lokal yang menggerakkan kawasan candi Ceto ternyata memiliki kearifan lokal yang bersifat unik, berbeda dengan kawasan lainnya. Kearifan lokal tersebut mempunyai fondasi yang kuat dan secara tidak disengaja bentuknya hampir sama.  Melalui penelitian ini ditemukan kearifan lokal berwujud Ruwatan sebagai salah satu bentuk kearifan yang selama ini telah berlangsung sebagai bagian ritual masyarakat Hindu dan Kejawen di kawasan candi Ceto. BPCB pun menyatakan kata Ruwatan dalam konteks pelestarian kawasan candi. Temuan ini sudah selayaknya untuk diapresiasi oleh masing- masing instansi/dinas, penggerak wisata serta masyarakat lokal untuk mensinergikan tata kelola di kawasan candi Ceto. 
Beberapa contoh kearifan lokal dari masyarakat kawasan candi Ceto antara lain dalam wujud falsafah sebuah kata CETO. Berdasarkan kearifan atau pengetahuan masyarakat kata CETO merupakan akronim dari Cepete disudo, Elingono akhirmu, Tenang iku luwih utomo. Ojo kesusu (secara harafiah diartikan sebagai tidak perlu cepat-cepat,  Ingat hari esok, Tenang itu lebih utama).   Dengan demikian maka kondisi dan situasi di tempat ini membuat orang hidup tenang dan setiap warga memperhatikan satu dengan yang lain. Falsafah hidup ini tercermin dalam berbagai aktivitas warga baik dalam pergaulan hidup, kebiasaan masyarakat, adat dan tradisi maupun kelangsungan hidup lingkungan alam dan manusia (Satya Widya, 2012: 150).  Kearifan lokal yang terkandung dalam filosofi CETO dimaknai secara positif oleh masyarakat dusun sebagai sebuah peringatan dan petunjukkan dari Tuhan untuk hidup secara berhati-hati. Dalam bertani contohnya, masyarakat Ceto diingatkan oleh orang tua mereka supaya tidak bertindak secara tergesa-gesa. Segala sesuatu yang akan dikerjakan harus ada “jawab” kepada sang pencipta. Artinya harus berdoa terlebih dahulu sebelum bekerja atau berkarya. Sikap seperti ini merupakan respons positif bukan hanya dalam menjaga kelestarian alam dan lingkungan Ceto tetapi saat ini digunakan juga untuk menanggapi merebaknya aktivitas pariwisata menuju kawasan Candi Ceto.  
Beberapa masyarakat Hindu Ceto memiliki kemampuan membaca simbol-simbol mistis yang teragendakan dalam realitas kehidupan. Masyarakat Ceto juga menyimpan beragam kearifan lokal mereka terhadap leluhur. Melalui suatu tradisi yang disebut upacara adat Dawuhan masyarakat belajar memaknai simbol, menghormati, dan bersyukur kepada Mbah Cikal Bakal, yaitu nenek moyang mereka yang dipercaya sebagai pemberi air kehidupan. 
Warisan leluhur yang terus dilestarikan bukan hanya mitos dan aturan adat melainkan juga aktivitas kebersamaan berupa gugur gunung (kerja bakti). Tiap hari Minggu warga bekerja bakti,  wajib diikuti oleh pria dan wanita.  Mulai sekitar pukul 06.00 wanita berkumpul dan membersihkan rumput atau sampah di sekitar jalan di perkampungan, lalu mengumpukannya di satu tempat. Sekitar pukul 08.00 giliran kaum pria menyempurnakan dengan membakar sampah itu, dan mengerjakan hal yang lebih berat, misalnya meratakan jalan perkampungan. Rutinitas ini berlangsung turun-temurun, diikuti sanksi sosial dan ekonomi. Bagi yang enggan terlibat kerja bakti, secara sosial tidak akan mendapat bantuan ketika butuh uluran tangan warga lain misalnya dalam membangun rumah.  Respons masyarakat terhadap Pariwisata memang belum maksimal tetapi perilaku hidup keseharian mereka secara tidak langsung sangat mendukung aktivitas wisata di kawasan Candi Ceto. 
Dalam hal pengelolaan jasa makanan bagi wisatawan, pelayanan kuliner di rumah makan sekitar candi masih kurang maksimal. Pengembangan di bidang jasa kuliner masih tergantung pihak lain baik untuk menyediakan bahan dasar makanan serta pemberdayaan makanan khas Ceto. Kasmin, seorang pemangku Saraswati menyebutkan bahwa masyarakat candi Ceto lebih mudah menerima masukan dari pihak luar. Motivasi dan pemberdayaan yang diberikan pihak luar mudah diterima masyarakat sehingga sedikit-demi sedikit merubah sikap warga dalam mengelola jasa kuliner dan cinderamata berupa makanan khas Ceto. Sikap seperti menurut Kasmin kemungkinan terkait dengan kepercayaan kejawen masyarakat Ceto bahwa “ilmu itu disengker”. Artinya, masyarakat Ceto cenderung tidak mau bertanya kepada orang yang lebih tua tentang ilmu kehidupan. 
Generasi muda harus mau menelusuri sendiri ilmu kehidupannya sekalipun dalam hidup mengalami suka duka. Terkait dengan ini, Kasmin menjelaskan bahwa masyarakat Ceto di satu sisi merasa belum siap merespons merebaknya aktivitas wisata di kawasan candi yang semakin meningkat akhir-akhir ini. Namun mereka tidak dapat menolak kedatangan wisatawan. Meski masyarakat mengaku tidak pernah melakukan promosi wisata, menurut Kasmin biasanya para pemandu wisata atau agen perjalanan dari pulau Bali dan mancanegara secara tidak langsung sudah mempromosikan wisata candi Ceto.
Pengetahuan masyarakat Ceto tentang adanya kayu bertuah ternyata sudah didapatkan sejak jaman dahulu kala. Pengetahuan ini diwariskan oleh para leluhur Dusun Ceto kepada anak cucunya sampai sekarang. Ketrampilan pengrajin pada awalnya juga diperoleh secara turun-temurun. Jumlah pengrajin souvenir atau cinderamata di dusun Ceto hanya 3 orang saja. Mereka ini mempunyai keterampilan membuat kerajinan tangan berbahan baku dari kayu. Kayu tersebut oleh masyarakat setempat disebut dengan “kayu bertuah”. Yang dimaksud kayu bertuah bagi masyarakat Dusun Ceto ialah beberapa jenis kayu yang secara kodrati mengandung dan mempunyai daya kekuatan atau energi serta daya supranatural yang bukan hasil rekayasa dari manusia. Kayu bertuah diyakini pula sebagai perlengkapan (ubo rampe) untuk kehidupan sehari- hari, dan diyakini merupakan anugerah dari Tuhan. Kayu bertuah terdiri dari kayu jenis Liwung, Tawa/Mentawa, Lotrok, Kebak, Prono Kuning dan Kengkeng. Jenis-jenis kayu ini bisa ditemui dalam hutan-hutan di Gunung Lawu. Mereka membuat kerajinan tangannya di dalam rumah masing-masing. Wisatawan yang singgah di candi Ceto disuguhi koleksi cinderamata yang diolah berdasarkan kearifan lokal. Jenis cinderamata yang dihasilkan dengan bahan dasar kayu bertuah berupa tongkat, gelang, tasbih, tongkat komando, dan stik drum. Pengrajinnya juga bukan orang biasa, namun tokoh adat yang dituakan dan dipercaya memiliki keahlian khusus yang dikaruniakan Tuhan. 
Proses pembuatan cinderamatanya pun tidak dapat sembarangan dan harus terencana sesuai dengan aturan adat Jawa dengan menghitung hari pasaran. Pengrajin harus mencari hari baik terlebih dulu sebelum mencari bahan baku kerajinan yaitu kayu bertuah. Hari baik ini dihitung berdasarkan hari pasaran dalam kepercayaan orang Jawa. Sedangkan keberadaan kayu yang akan diambil tidak pasti, kadang berada dalam hutan-hutan di kaki gunung Lawu sebelah barat, dan di hari atau bulan berikutnya belum tentu bisa ditemui lagi. Di kemudian hari, kayu yang dicari ditemukan di sisi yang berbeda dari tempat semula seperti misalnya di lereng gunung Lawu sebelah utara, timur, atau selatan. Untuk menuju hutan, pengrajin harus berjalan kaki karena medannya cukup terjal dan berbatu sehingga tidak dapat dijangkau dengan kendaraan. Tidak sembarang orang dapat mengambilnya. Inilah yang menjadi salah satu potensi budaya akulturasi antara penganut Hindu dengan tradisi Jawa. Kayu bertuah juga diyakini sebagai perlengkapan (ubo rampe) untuk kehidupan sehari-hari. Hasil kerajinan tangan kayu bertuah ini bagi dijual kepada wisatawan dan hasilnya oleh pengrajin hanya dianggap sebagai pendapatan tambahan.            
Salah satu aktivitas rutin masyarakat Ceto pada masa lalu adalah membuat arang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kayu bahan dasar arang diperoleh dari hutan Lawu. Namun, kegiatan ini dikhawatirikan menimbulkan dampak bagi pelestarian hutan. Hal ini kemudian mendapat perhatian pemerintah daerah setempat. Dalam rangka menekan kerusakan hutan, maka pemerintah (Dinas Pariwisata) memotivasi masyarakat untuk menciptakan matapencaharian baru di bidang penginapan dan warung. Hal ini pun memberi dampak positif dalam melestarikan kawasan hutan Lawu sehingga tetap indah dan sejuk.  Dalam rangka menciptakan sistem pengelolaan yang berkualitas, maka bentuk-bentuk kearifan tersebut di atas dapat menjadi embrio yang dapat dikembangkan bersama. Persoalan mendasar yang perlu segera ditindaklanjuti sedini mungkin adalah menyatukan visi melalui sebuah agenda pertemuan antara instansi, swasta, dan penduduk lokal. Masing-masing dapat mendesain sistem pengelolaan yang bersinergi. Langkah berikutnya adalah memperkuat potensi masing-masing secara proporsional. BPCB bersama penduduk lokal memperkuat kearifan lokal melalui aktivitas Ruwatan, sehingga pelestarian candi Ceto senantiasa lestari. 
Pemerintah kabupaten menstimulasi dalam berbagai bentuk pelayanan melalui jalur birokrasi, salah satunya adalah merevitalisasi kinerja kelompok sadar wisata tingkat desa. Melalui pemberdayaan sadar wisata diharapkan keterlibatan masyarakat lokal semakin tinggi sehingga pengelolaan wisata kawasan candi lebih berkualitas serta dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. Sektor jasa pariwisata dapat bersinergi serta terintegrasi dengan menciptakan wadah organisasi non birokratis yang mampu menampung aspirasi seluruh penggerak wisata secara profesional. Melalui pemberdayaan sadar wisata diharapkan keterlibatan masyarakat lokal semakin tinggi sehingga pengelolaan wisata kawasan candi lebih berkualitas serta dapat meningkatkan ekonomi masyarakat. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar